Bisa dipelajari dalam kiprah pembangunan yang tengah bergulir
di masa krisis. Komitmen untuk menjaga dan mengembangkan eksistensi hutan
dan kehutanan kian menipis. Jika hal ini terus berlangsung maka dapat menjadi
preseden buruk bagi generasi mendatang.
Lantaran itu, menjadi penting artinya jika masa kini kita menyambut
baik gagasan konkret melalui pencanangan "Gerakan Hutan Sekolah".
Yaitu, penghijauan yang dibudidayakan pada lingkungan sekolahan, baik SD,
SLTP, SMU hingga perguruan tinggi. Gerakan ini merupakan salah satu upaya
komplementer terhadap gerakan penghijauan nasional sebelumnya, seperti
gerakan sejuta pohon (sejak 10 Januari 1993), gerakan hutan desa, hutan
kota dan sebagainya.
Apa makna di balik pentingnya gerakan membangun hutan sekolah yang
dicanangkan pemerintah itu? Apakah hal ini hanya sekadar sebuah niat tanpa
usaha realisasi karena tak dipandang vital.Tampaknya hal ini tidak demikian,
sebab pemerintah menganggapnya sedemikian penting bagi kehidupan manusia.
Beberapa manfaat dikembangkannya hutan sekolah. Pertama, sebagai upaya
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan di bidang ekologi (konservasi lingkungan)
bagi anak didik, sekaligus membangun rasa ikut memiliki menuju sekolah
yang berwawasan lingkungan.
Kedua, mengembangkan sisi ekonomi dan kegiatan produktif melalui pembudidayaan
tanaman hutan di sekolah.
Ketiga, meningkatkan bidang sosial demokratis melalui peningkatan partisipasi
anak didik dalam pengembangan hutan sekolah.
Keempat, memberi manfaat edukatif sebagai laboratorium alam melalui
penerapan iptek penghijauan. Untuk itu, perlu mulai berbenah diri bagi
sekolah-sekolah sebagai arena edukasi bagi tumbuhnya lingkungan dan sumber
alam yang lestari melalui penerapan iptek.
Disadari, akar penyebab dari kerusakan lingkungan karena ulah manusia
yang bermental frontier (Chiras, 1985). Mentalitas frontier berorientasi
pada manusia yang memiliki tiga karakteristik.
Pertama, berpandangan bahwa bumi adalah bank sumber kekayaan alam yang
tak terbatas, dan berkeyakinan bahwa ia akan selalu ada.
Kedua, berpandangan manusia bukan bagian dari alam.
Ketiga, berpandangan alam untuk dikuasai dan digunakan memenuhi kebutuhan
dan keinginan.
Bila kawasan hutan benar-benar lestari akan berperan dan berfungsi
ekonomi, sosial, dan ekologi. Kondisi kelestarian kawasan DAS yang hancur
terutama akibat kemarakan degradasi hutan berat hutan tropis. Dewasa ini,
43 juta ha hutan nasional dalam kondisi rusak.
Selama 5 tahun terakhir, laju deforestasi diperkirakan 1,6 ha per tahun.
Angka itu menunjukkan tingkat kerusakan dan degradasi hutan nasional yang
luar biasa parah dan tekanan terhadap hutan sudah besar.
Menurut citra satelit 1995-1999 hutan produksi yang rusak di Indonesia
pada 432 HPH mencapai 14,2 juta ha. Sedang kerusakan hutan lindung dan
hutan konservasi mencapai 5,9 juta ha.
Pada dasarnya, pengelolaan sektor kehutanan sebatas 30% (lihat UU No
41/1999 tentang Kehutanan) dari total luas setiap wilayah DAS bersangkutan
agar selalu berada dalam kondisi lestari.
Misalnya, di Jawa sesungguhnya yang harus dipertahankan dan dikelola
dengan baik dalam pengelolaan sektor kehutanan hanya kawasan hutan sekitar
3,9 juta ha (30%) dari seluruh luas daratan sekitar 13 juta ha. Realitanya
luas itu sudah jauh menciut menjadi 21% atau sekitar 2,73 juta ha, dan
itu pun harus dipertahankan mati-matian.
Masing-masing yang berhubungan dengan proses rusaknya hutan punya banyak
motif dan latar belakang. Bisa saja orang mempersepsikan hutan sebagai
SDA karunia Tuhan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
masyarakat. Di sisi lain, mungkin juga ada yang memaknai hutan sebagai
"sahabat" sumber penghidupan. Atau mungkin sumber malapetaka,
sekaligus sumber kejahatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar